A.Warga Negara
Warga Negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu dalam
hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara warga Negara dan Negara, warga
negara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap Negara dan sebaliknya, warga negara
juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh Negara.
Dalam hubungan internasional di setiap wilayah Negara selalu ada warga Negara
dan orang asing yang semuanya disebut penduduk. Setiap warga Negara adalah
penduduk suatu negara, sedangkan setiap penduduk belum tentu warga negara,
karena kemungkinan seorang asing yang tinggal di Indonesia atau Negara lain
yang bukan Negara asalnya.
B. Negara
Secara etimologis, “Negara” berasal dari bahasa asing Staat (Belanda,
Jerman), atau State (Inggris). Kata Staat atau State pun berasal dari bahasa
Latin, yaitu status atau statum yang berarti “menempatkan dalam keadaan
berdiri, membuat berdiri, dan menempatkan”. Kata status juga diartikan sebagai
tegak dan tetap. Dan Niccolo Machiavelli memperkenalkan istilah La Stato yang
mengartikan Negara sebagai kekuasaan.
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Berikut ini adalah beberapa contoh
hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap warga negara memiliki
hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara
manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial
yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari.
Namun biasanya bagi yang memiliki banyak uang atau tajir bisa memiliki tambahan
hak dan pengurangan kewajiban sebagai warga negara kesatuan republik Indonesia.
A. Contoh Hak Warga Negara Indonesia
- Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan
hukum
- Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak
- Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di
mata hukum dan di dalam pemerintahan
- Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan
menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
- Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran
- Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah
negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh
- Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan
berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan
sesuai undang-undang yang berlaku
B. Contoh Kewajiban Warga Negara
Indonesia
- Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan
serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari
serangan musuh
- Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi
yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda)
- Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung
tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta
dijalankan dengan sebaik-baiknya
- Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh
terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara indonesia
- Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan
untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah
yang lebih baik.
Contoh kasus antara warga Negara
dengan Negara:
Kasus Syiah di Sampang
Madura,Negara Mengabaikan Prinsip Hak Asasi Manusia
Oleh:
Supriadi Purba
Kekerasan yang berulang di Kabupaten Sampang, Pulau
Madura, Jawa Timur, menunjukkan negara gagal melindungi warganya sendiri.
Akibat pemahaman tidak utuh, agama mudah dimanipulasi untuk berbagai
kepentingan.Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan
Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo Pr menilai, kekerasan berlatar
agama yang terus berulang terjadi akibat agama tidak dipahami secara utuh dalam
konteks sosial politik dan budaya zaman. Agama selalu dikaitkan dengan
kebenaran absolut. Akibatnya, agama mudah dimanipulasi kepentingan politik
jangka pendek. Di Sampang, konflik awalnya bisa disebabkan faktor pribadi dan
masalah ekonomi serta politik lokal. Namun, akibat tafsir agama tunggal dan
negara yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi gagal berperan, kondisi
semakin buruk (Kompas.com Selasa, 28 Agustus 2012).
Apa
yang terjadi di Sampang Madura terhadap kaum Syiah adalah bukti negara kembali
mengabaikan prinsip hak asasi manusia (HAM). Hal ini terlihat ketika ada yang
menjadi korban yang meninggal jiwa, luka-luka serta rumah warga dibakar oleh
sekelompok masyarakat. Pertikaian komunal di Sampang Madura adalah bentuk
bagaimana sekelompok mayoritas melakukan tindakan di luar nalar kemanusiaan,
hanya karena faktor satu kelompok masyarakat tidak berkeyakinan layaknya
mereka.
Diperkuat
dengan bukan kali pertama perisitiwa serupa terjadi, beberapa bulan yang lalu
peristiwa pembakaran rumah terhadap kaum Syiah juga terjadi. Hal inilah menjadi
sebuah tanda tanya besar bagi Pemerintah terkhusus kepada pihak berwenang dalam
hal ini kepolisian yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap warga
masyarakat. Tetapi seiring dengan adanya korban jiwa dan korban luka
menunjukkan bahwa ada terjadi pembiaran yang sistematis. Pembiaran yang sangat
diluar prosedural, dimana peran kepolisian tidak optimal bukan karena tidak
tahu, tetapi sepertinya karena faktor kesengajaan.
Jadi
kalaupun banyak kabar yang beredar seputar kasus di Sampang Madura, hal yang
harus disorot adalah kaitan telah terjadi Intoleransi dan pelanggaran hak asasi
manusia yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Karena kasus ini meninggalkan bekas
yang dalam bagi korban yang kesemuanya adalah kaum Syiah, kecuali tadi banyak
kelompok masyarakat didalamnya, mungkin alasan beberapa pihak yang mengatakan
bahwa kasus Sampang disebabkan oleh persoalan asmara atau keluarga atau
lainnya.
Masyarakat
juga harus memahami dan melihat benar bahwa peristiwa ini telah membuat
masyarakat Syiah Sampang Madura, mengungsi dan kehilangan tempat tinggal.
Bahkan perhatian pemerintah yang datangpun sepertinya akibat terjebak dengan
sudah terlalu besar peristiwa itu, andai masih peristiwanya seperti beberapa
bulan yang lalu maka pemerintah tidak akan ambilpusing terutama pemerintah
pusat yakni Presiden SBY.
Bahkan
respons Presiden SBY yang menyatakan bahwa intelijen lemah melakukan deteksi,
hanya untuk menyelamatkan citra dirinya di mata internasional, bukan pembelaan
terhadap korban penyerangan, kata Hendardi melalui siaran pers di Jakarta,
Selasa. Menurut dia, cara seperti itu adalah lalim karena semata-mata demi
dirinya sendiri yang tidak mau kehilangan muka. Respon reaktif bukan untuk
memperbaiki kinerja menjamin kebebasan warga, tapi hanya untuk merawat paras
dirinya.
Bahasa
pura-pura SBY tersebut menunjukkan akibat peristiwa penyerangan sekaligus
bentrokan tersebut telah menjerat namanya sebagai kepala negara yang tidak
becus mengurus persoalan seperti Intoleransi di Indonesia. Presiden SBY sudah
membaca bahwa reaksi lembaga dan elemen lain serta Internasionala akan mengarah
kepadanya, maka dia membentuk sebuah kekawatiran yang tidak seperti biasanya
ketika terjadi peristiwa yang serupa.
Untuk
kemudian mengacu pada pengembalian hak-hak masyarakat sipil dalam hal ini kaum
Syiah maka presiden ditantang untuk bertindak tegas. Tidak memberikan
kekawatiran terhadap masyarakat, lakukan pengamanan terhadap masyarakat dan
libatkan semua elemen yang berweweanag untuk mempercepat rekonsiliasi.
Pemerintah harus menjamin peristiwa ini tidak berkepanjangan, tindak tegas
pelaku dibelakangnya. Kalau itu harus melibatkan pemerintah daerah sekalipun,
kenapa tidak mereka semua ditindak sesuai Hukum yang berlaku.
Ketegasan
inilah sekarang yang ditunggu oleh masyarakat khususnya masyarakat korban yang
sedang berada di pengungsian dan tempat-tempat perlindungan lainnya. Persoalan
Syiah Sampang Madura sekarang bukan lagi hanya persoalan masyarakat Jawa Timur
tetapi sudah menjadi persoalan berbangsa dan bernegara dan bahkan sudah masukke
ranah Internasional. Bahkan lembaga bukan Pemerintah diantaranya beberapa
elemen di Indonesia akan melaporkan peristiwa ini ke Dewan HAM PBB, sehingga
pada sidang Universal Periodic Review (UPR) September bulan depan, Indonesia
pasti akan dicecar kembali. Bersiap-siaplah Pemerintah untuk memberikan jawaban
dan keterangan atas setiap kasus intoleransi dan pelanggaran hak asasi manusia
di Indonesia.
Intoleransi
Bagi Pemerintah Hal Biasa
Kenapa
kasus Intoleransi di Indonesia semakin tinggi dari tahun ke tahun?, jawabannya
tidak lain karena negara mengabaikan prinsip hak asasi manusia dan persoalan
intoleransi bagi negara adalah persoalan biasa (wajar). Hal ini terlihat dari respon
Presiden SBY yang sangat minim kaitan dengan persoalan intoleransi di
Indonesia. SBY hanya gemar melakukan politik kata-kata yang berujung pada
pencitraan. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Setara Institute tahun 2011.
Kita
mungkin tidak lupa kaitan dengan kasus Ahmadiyah, kasus pembakaran Gereja,
kasus Syah serta praktek intoleransi lainnya. Apakah semua kasus yang
disebutkan diatas ada kejelasan dan penyelesaiannya?, cukup disayangkan negara
tidak berani dalam mengungkap dan menindak para pelaku, negara cenderung
membiarkan dan sepertinya tertekan dengan sekelompok masyarakat. Artinya dalam
kasus intoleransi negara kalah dan tidak mampu memberikan perlindungan bagi
warga negaranya, apalagi di tambah desakan luar negeri dalam Sidang Dewan HAM PBB
di Jenewa, menunjukkan betapa lemahnya Negara.
Jikalau
negara kalah dan tidak berani menindak para pelaku dibalik semua kasus
tercedarinya kebebasan beragama dan berkeyakinan, kepada siapa lagi masyarakat
mengadu?. Siapa yang ditakuti oleh negara sebenarnya, bukankah negara memiliki
kewenangan yang kapanpun bisa dilakukan jikalau ada kasus pencederaan terhadap
nilai-nilai toleransi, tetapi kenapa negara diam dan membiarkan?
Sudah
saatnya negara bertindak benar, memberikan jawaban masyarakat yang belum terjawab
hingga hari ini. Kepastian hukum yang tidak ada menunjukkan betapa lemahnya
negara, kalah dengan sekelompok orang yang merupakan segelintir dari jumlah
masyarakat. Presiden dan jajaranya juga asik dengan bahasa-bahasa lumrah dan
sepertinya biasa saja melihat keadaan yang terjadi sementara ada warga
negaranya hingga hari ini tidak mendapat jaminan menjalankan ibadah dan
kepercayaannya.
Tokoh
agama seperti Romo Benny Susetyo melihat negara sebenarnya sudah membuka ruang
terjadinya konflik. Pemerintah lembek terhadap ormas-ormas tertentu, dalam
kasus Gereja di Aceh, Riau, Bekasi. Pemerintah lebih mendengarkan suara
ormas-ormas dibanding melihat kebenaran yang ada. Pemerintah tidak mampu
menjadi wasit, tidak memiliki keberanian menegakkan hukum bagi warga negaranya.
Dengan
dihujani cercaan dan pertanyaann dari negara-negera sahabat di Sidang Dewan HAM
PBB, mudah-mudahan pemerintah Indonesia berubah dan tidak lagi terkesan
membiarkan.